1
Februari 2012 09:00 a.m.
Salah satu alat komunikasiku bergetar, segera aku mengambilnya
dari atas tempat tidur, dan ternyata ada sebuah pesan singkat yang masuk,
dengan perasaan senang aku membacanya dan membalas pesan singkat tersebut.
“Nita : Iyan lagi ngapai? Lagi sibuk ga hari ini?”
“Iyan : waahhh Nita, apa kabar? Iyan lagi nonton
aja ni, bosan hari ini ga ada kegiatan”
“Nita : kabar nita baik, kalau iyan memang lagi ga
sibuk, Nita mau ngomong sesuatu”
“Iyan :
owh.. boleh mau ngomong apa?, Iyan kaanngggeeenn kali ni sama Nita,udah lama kita
ga jumpa :’(“
“Nita :
sebelumnya Nita minta maaf sama Iyan, apa Iyan ga merasa ada yang salah dengan
hubungan kita?”
“Iyan :
hah?? Iyan merasa ga ada yang salah dengan hubungan kita, walaupun kita LDR
iyan merasa baik-baik aja”
“Nita :
iya, tapi Nita merasa ada yang salah,ini semua ga baik-baik aja,dan sebaiknya
hubungan kita sampai disini aja. Nita lagi mau sendiri. Pikiran Nita saat ini
udah bercabang-cabang. Nita capek. Keluarga Nita udah terpencar-pencar, ayah
dimana, mama dimana, kasihan adek Nita. Belum lagi pekerjaan dan kuliah Nita.
Nita ga mau hubungan kita ini membuat pikiran Nita semakin bercabang, Nita
kasian sama Iyan kalau nantinya Nita terlalu sibuk hingga mengabaikan
Iyan.
Berulang kali aku membaca pesan terakhir darinya,
mencari kemungkinan ada kesalahan kalimat dalam penulisan pesan tersebut, atau mungkin
aku salah mengartikan maksud pesan darinya. Walaupun berulang kali kubaca,
tidak ada kesalahan kata ataupun kalimat dalam pesan yang dikirimkannya, dan
maksud dari pesan tersebut sangatlah jelas, bahwa dia menginginkan hubungan
cinta ini berakhir. Aku hanya bisa terdiam dan terus memandangi teks pesan yang
ia kirimkan. Perasaan senang ketika menerima pesan darinya seketika sirna dan
berubah menjadi perasaan yang berkecamuk antara rasa heran, tidak percaya, dan kesedihan.
Berbagai pertanyaan muncul di benakku mengenai pesan terkahir darinya, dan
masih menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi perasaanku. Aku tidak dapat
menerima kenyataan yang sedang terjadi, aku tertawa melihat pesan yang ia
kirimkan, mungkinkah aku sedang tertidur dan mengalami mimpi buruk. Akan tetapi
aku tahu tidak sedang bermimpi, aku dalam keadaan terjaga dan sangat sadar
ketika membaca pesan tersebut.
November
2012
Tubuh, mata, dan udara dingin di pagi ini telah bersekongkol,
memaksa dan memperdayaku untuk tetap menikmati alam mimpi yang indah namun
lebih fana dari dunia. Indra pendengaranku pun tak memperdulikan indahnya
kicauan burung yang bernyanyi di atas jendela kamar. Layaknya aku, pagi ini
mentari juga tak menunjukkan keperkasaannya, terhadang gumpalan awan, sinarnya
terpenjara, terikat, dan meredup dibalik langit yang menghitam. Aku menyambut
masuknya bulan November tahun ini dengan rasa malas yang luar biasa
hebatnya. Dan sebelum membuka mata, sesungguhnya aku telah berharap kepada
Tuhan untuk menghapuskan November dari penanggalan bulan di kalender Masehi. Namun
apadaya, harapanku yang konyol tersebut tidak pernah dikabulkan oleh
Tuhan.
Menghela nafas panjang, dengan malas tubuh ini
kugerakkan untuk bangkit dan berjalan meninggalkan tempat tidur, membiarkannya
tersiram dan merasakan kesegaran setiap titik air yang mengucur jatuh membasahi
seluruh bagian dari tubuhku, mengalir dari ujung rambut hingga ujung kaki. Prosesi
yang tidak memakan waktu lama, kemudian kukenakan handuk untuk menutupi
sebagian dari tubuhku. Aku kembali berjalan ke kamar dengan keadaan tubuh yang
belum kering sempurna, sehingga tertinggallah jejak dan tetesan air di lantai.
Beberapa titik air masih menetes dari rambut kepalaku dan mengalir mengikuti setiap
liku bidang tubuhku.
Diluar matahari masih berupaya membebaskan diri
dari gelapnya awan hitam yang tak lelah membayanginya, namun sekuat apapun sang
mentari mencoba, tidak ada secercah cahayapun yang bisa lolos dari cengkraman
gelap sang awan. Dua tahun telah berlalu, masih kuat dalam ingatanku November di
tahun itu adalah bulan terindah yang pernah kualami. Dalam November aku membuat
sebuah komitmen, mengikat sebuah janji, dan mengutarakan isi hatiku yang sempat
terpendam lama kepada seorang wanita yang sangat kucintai. Pasir putih, gulungan
ombak, awan tipis, dan mentari menjadi saksi Perjanjian, Komitmen dan Prinsip
itu dibuat. Dan tahun lalu di bulan November juga dengan suka cita aku meminta
keabadian cinta kepada Tuhan, agar disetiap November nantinya aku dapat merayakan hari
abadi cinta aku dan dia. Namun November tahun ini semua kenangan indah tersebut
tidak akan pernah terulang, tidak ada lagi perayaan mengenai keabadian cinta,
tidak ada lagi perjanjian, komitmen, dan prinsip yang harus diperjuangkan. Bagiku
November tahun ini hanyalah bulan yang patut untuk dikenang (November in
Memorial).
Kenangan yang selalu membayangiku, kenangan yang
selalu menghantuiku, dan kenangan indah yang terlalu manis untuk dilupakan. Semakin
aku berusaha keras untuk melupakan kenangan tersebut, semakin jelas pula
kenangan tersebut muncul di pikiranku. Semakin aku berusaha menghapus kenangan
tersebut dari ingatanku, semakin kuat pula kenangan tersebut tertanam dalam
memori otakku. Semua usahaku terlihat sia-sia dan semakin memperburuk keadaan.
Dalam kepasrahan, aku relakan kenangan ini hidup bersamaku dan tersimpan di
relung hatiku yang terdalam, karena kau adalah bagian dari kenangan ini, dan
kau adalah bagian dari perjalanan kisah cintaku.
1
Februari 2012 11:00 a.m.
Telepon genggamku kembali bergetar, ada
sebuah pesan yang masuk. Ternyata pesan dari seorang sahabat yang ingin
mengajakku berjalan-jalan, menikmati liburan semester ganjil yang tinggal
hitungan hari lagi. Di bulan Februari ini aku memang sedang menikmati liburan, tetapi
setelah kejadian pemutusan hubungan secara sepihak dengan alasan yang menurutku
tidak masuk akal tersebut, suasana liburanku langsung berubah menjadi suram,
tidak ada sedikitpun gairah yang tersisa untuk menikmatinya, pengaruh suasana hati
dan pikiranku yang memburuk adalah penyebabnya. Aku berusaha mencari alasan
untuk menolak ajakan tersebut, berbagai alasan telah kusebutkan, seperti aku
harus menjaga rumah, tidak ada kendaraan untuk berjumpa mereka, hingga aku
beralasan sedang sakit. Namun dia tetap menolak semua alasan yang telah kusampaikan,
alasan-alasan tersebut terdengar konyol baginya. Tidak ada alasan lain yang
terlintas di benakku, pikiranku sedang tidak jernih, dan akupun belum siap
untuk menceritakan hal yang sebenarnya terjadi kepadanya. Akhirnya aku menyerah
dibawah usaha dan kegigihan yang telah ia lakukan untuk membujuk aku agar dapat
menikmati liburan yang tersisa. Dia sangat bersikeras agar aku bisa meramaikan
reuni kecil yang telah ia rencanakan didalam liburan tersebut. Reuni kecil yang
akan mengingatkan kembali berbagai kenangan di masa Sekolah Menengah Pertama
dahulu. Ketika kami mengggunakan seragam putih biru, melakukan canda tawa, belajar
bersama, dan merasakan cinta monyet yang
tak terungkap. Reuni kecil tersebut akan mempertemukan aku, Fani, Lina, Irwan,
Dian, Meza, Riski, dan Fatih. Pantai menjadi pilihan mereka untuk berlibur dan
merayakan reuni kecil tersebut. Aku hanya mengikuti, mengangguk dan mengiyakan
ide yang mereka ajukan.
Sejenak terlintas dibenakku bahwa sang jarak
dan waktu telah mempersiapkan ini semua. Mereka bersekutu, merangkai kembali
alur cerita, dan mencoba memisahkan cintaku dan dia dalam ruang jarak dan waktu.
Mereka membuatku seperti merasakan dejavu.
Aku kembali menghirup aroma laut dan merasakan segala sensasinya. Pasir putih
dengan rapi mencetak jejak-jejak kakiku, namun dengan seketika gulungan ombak
kembali menghapus jejak tersebut dan dengan lembut hempasannya menjilati jemari
kakiku, sedangkan awan tipis masih bergelut dengan mentari memperebutkan daerah
kekuasaannya di langit. Mereka semua adalah saksi ketika aku menyatakan cinta
kepada wanita yang kusayangi. Sekarang mereka kembali dan menjadi saksi ketika kami
tidak lagi bersatu. Sang jarak dan waktu dengan sukses membawaku kembali ke
latar dan suasana yang sama, hal yang berbeda hanyalah lokasi pantai dan
teman-teman yang berada disekitarku.
BERSAMBUNG...